Salah Malu dan Kena Mental

Muhammad Nurul Hakim
5 min readDec 18, 2023

--

Photo by Prashant Yonzan on Unsplash

Malu-malu mau. Begitu kalimat singkat yang biasa dilontarin temen di jaman sekolah dulu pas ada yang lagi ngerasain cinta monyet.

Waktu terus bergulir, pada akhirnya siswa-siswi sekolah yang dulu ngerasain cinta monyet itupun tumbuh dewasa. Dengan episode perjalanan hidup masing-masing.

Terkadang punya kesamaan situasi, kayak misalnya salah menempatkan rasa malu. Yes, kadang itulah situasi yang mungkin kita sedang atau pernah alami. Merasa malu tapi tidak pada tempatnya.

Entah itu malu saat berjualan.

Malu saat melakukan public speaking.

Atau malu saat berhenti ketika lampu merah menyala di tengah-tengah pelanggar lampu merah lalu lintas.

Seharusnya rasa malu itu dimiliki oleh para pelanggar aturan. Sebutlah itu koruptor, perampok, pencuri, penculik, begal, pembunuh, pemerkosa, penipu, penjajah, dan sekawanannya.

Tapi fakta yang ada malah menyakitkan. Orang-orang jahat itu malah bersuka cita, bahkan bisa flexing harta di social media.

Gila?!!!

Kalo kata pak ustad, ketika nikmat beribadah udah dicabut dari pelaku dosa, maka itulah hukuman terberat selama di dunia.

Para pelaku kejahatan merasa tidak mendapatkan hukuman apa-apa di dunia, meskipun mereka sadar udah berperilaku buruk. Mereka merasa aman-aman saja, bahkan mereka malah merasa gampang banget dapetin duit.

Begitulah kira-kira rasanya menjadi pelaku keburukan yang udah ditarik kenikmatan beribadah di dunia oleh Allah.

Tapi saya nggak mau membahas rasa malu lebih detail dari sisi religi. Saya ingin bercerita saja betapa sering seseorang menaruh rasa malu tidak pada tempat yang seharusnya.

Contoh nyata-nya seperti yang udah saya taruh di bagian pembuka tulisan ini.

Malu saat berjualan.

“Mas, saya tuh malu banget kalo harus jualan…”, begitu kata seseorang yang katanya pengen jadi pengusaha.

Aneh, kan?!

Kalimat lain semacam ini, “saya malu kalo harus live jualan, bingung harus ngomong apa…”

Kalo udah jalanin usaha, udah punya karyawan dengan berbagai divisi, si pengusaha itu nggak usah live jualan, nggak papa. Nah, ini wong baru mulai jalan usaha, baru merintis, tapi mental block-nya selangit.

Pertarungan dengan diri sendiri adalah pertarungan pikiran.

Kalo musuhnya kelihatan di depan muka, enak. Kita bisa langsung main tonjok. Nah, kalo musuhnya diri kita sendiri, itu PR yang nggak mudah. Bertarung dengan diri sendiri tuh effort-nya super gede.

Logika harus jalan dengan benar. Kalo pengen punya usaha, harus mau membayar ‘biaya’ perjalanannya. Kalo harus maju tampil berjualan, ya lakukan. Toh lagi di posisi solopreneur. Apa-apa masih harus dikerjakan sendiri.

Ekstrimnya, kalo malu jualan, mending nggak usah buka usaha. Biar aja biaya pengeluaran terus bertambah, menggerus tabungan.

Kadang orang baru sadar untuk mau bertarung dengan dirinya, ketika keadaan sudah terdesak. Istilah populernya The Power of Kepepet.

Kalo terus-menerus menunggu keadaan terdesak, kadang malah kebablasan. Ibarat nasi udah menjadi bubur, banyak kesempatan baik malah terlewat dan nggak bisa balik lagi. Respon yang bisa dilakukan hanyalah menikmati apapun yang ada sekarang, dan berjuang dengan apapun kondisi saat ini.

Serupa halnya dengan urusan malu saat melakukan public speaking. Dih, Alasan aja!

Di satu sisi pengen usahanya dikenal orang, tapi giliran dikasih kesempatan untuk manggung mempromosikan usahanya, malah berdalih malu! Kan, aneh!

Sudahlah… Kalo memang bersungguh-sungguh ingin bangun usaha, ya harus mau mengesampingkan rasa malu soal tampil, malu jualan. Hajar aja dulu!

Tulisan ini selain saya tujukan bagi orang-orang pemalu yang tidak pada tempatnya di luar sana, sebenarnya sekaligus untuk diri saya sendiri. Hehehe.

Ibarat saya sedang berkaca, maka tulisan ini pun sedang berbicara kepada orang di dalam cermin.

Nggak bisa saya pungkiri, terkadang godaan rasa malu itu muncul, bahkan tak terkendali. Seakan hidup saya dikuasai rasa malu, padahal tidak pada tempatnya.

Orang bijak pernah bilang, “malulah jika kamu berbuat salah…”.

Jenis rasa malu lain yang datang menghampiri ke saya adalah malu untuk share pengetahuan yang saya miliki. Mungkin orang lain juga merasakan rasa malu jenis ini? Mungkinkah itu kamu?

Jemari ini rasanya berat buat sharing sesuatu yang sebenarnya bermanfaat. Ada rasa tertahan gitu. Padahal mungkin saja ada orang-orang di luar sana yang sedang butuh solusi dan bisa merasakan dampak manfaat dari tulisan saya, dari postingan saya.

Ketika berkaitan sama rencana, rasa malu untuk sharing itu semakin menjadi-jadi. Secara pribadi, sebisa mungkin saya harus merahasiakan target hingga saya berhasil menggapainya. Barulah mungkin setelah itu akan saya ceritakan.

Kenapa saya harus merahasiakan target saya? Karena sepengalaman saya, ketika saya menceritakan rencana saya ke orang lain, motivasi untuk menggapainya hilang seketika.

Ternyata setelah saya telusuri dari berbagai referensi, hal tersebut terjadi karena munculnya rasa puas ketika udah menceritakan rencana ke orang lain. Padahal itu baru rencana, lho ya. Otak saya merespon bahwa saya udah mewujudkan rencana itu, padahal belum sama sekali. Alhasil, motivasi saya langsung terjun bebas.

Mungkin bagi sebagian orang akan mengecap saya begitu lemah. Nggak papa. Toh, setiap orang itu unik. Ada yang tetap berhasil mewujudkan rencananya meskipun udah menceritakan ke orang lain. Ternyata dengan menceritakan ke orang lain, orang tipe ini malah makin termotivasi untuk mewujudkan impiannya. Ada semacam hutang malu gitu. Kalo nggak tercapai, mau ditaruh mana muka dia?!

Dulu saya pernah mencoba metode itu, ternyata nggak works di saya. Saya bukan tipe orang yang seperti itu. Yang ada begitu saya ceritakan rencana ke orang lain, ya pupus sudah rencana itu. Yang ada malu beneran karena nggak berhasil mewujudkan rencana tersebut.

Saya down?! Tentu saja!

Kena mental, Bro!

Beberapa kali saya mengalami hal itu. Sampai akhirnya saya sadar bahwa kegagalan itu berpola, dan saya harus memperbaiki polanya. Saya nggak boleh mengulang kesalahan dengan menceritakan rencana saya lagi. Kapok!

Kalopun mau cerita, sebaiknya ceritakan aja proses yang lagi kita jalani. Begitu kata Dan Koe.

Seperti saat ini, saya lagi getol banget menambah skill editing di Canva. Saya lagi bikin produk digital lewat Canva.

Nah, ada 2 kelas online yang saya rekomendasikan untuk kamu ikuti:

  1. Kelas dari Lady Aga klik link di sini.
  2. Kelas dari Habiskerja klik link di sini.

Apa bedanya?

Kalo kelas pertama itu dihandle sendiri oleh Lady Aga, seorang freelancer yang aktif di Tiktok. Salah satu bonus kelasnya adalah tersedia Grup Konsultasi WA.

Kalo kelas kedua itu dihandle oleh tim habiskerjadotcom. Narasumbernya Fiony Angelika, seorang desainer Canva dengan follower Instagram lebih dari 100k dan telah menjadi mentor di puluhan webinar. Keunggulan kelas kedua adalah disediakan Grup Konsultasi di Telegram dan Sertifikat Kelulusan.

Silakan kamu kepoin satu per satu dengan cara klik link di atas.

Keduanya adalah pilihan kamu. Apapun keputusannya, murni kembali ke kamu sendiri. Silakan pilih sesuai preferensi pribadi.

Yang intinya, semoga materi editing Canva yang kamu butuhkan, bisa terjawab dari materi-materi pengajaran di kelas online yang kamu pilih.

Selamat belajar, selamat bertumbuh, teman!

--

--

Muhammad Nurul Hakim

I enjoy discussing various topics such as my daily activities, business, productivity, and tech matters. Visit my personal blog at: https://hakim.orderio.my.id