Titik Terendah?

Muhammad Nurul Hakim
3 min readSep 24, 2024

--

Menjalani hidup di titik terendah itu memang menyesakkan dada.

Ilustrasi hasil generate AI

Apa titik terendah versi kamu? Coba sebut.

  • Sindiran dan cacian dari keluarga terdekat bertubi-tubi?
  • Nggak pegang duit ketika keluarga membutuhkan pengobatan?
  • Jauh dari keluarga ketika sakit berat mendera?
  • Kena PHK padahal utang belum lunas?
  • Kena tipu ratusan juta oleh orang yang dikenal?
  • Orangtua meninggal?
  • Atau situasi lain di luar skenario di atas?

Mari selalu ingat bahwa Allah nggak menurunkan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Tercantum dalam Surat Al-Baqoroh ayat 286.

Setiap ciptaan Allah nggak ada yang kekal abadi. Termasuk ujian hidup. Nggak ada ujian hidup yang eksis seterusnya. Tentu ada waktunya episode ujian hidup berlalu.

Sama juga ketika mengalami masa bahagia. Idealnya tak akan bertahan abadi. Ada waktunya rasa bahagia itu pun melenggang pergi.

“Bahagia sewajarnya, sedih pun sewajarnya. Tak perlu berlebihan.”

Begitu kira-kira nasihat yang aku peroleh. Secara teori memang gampang, namun realisasinya yang butuh perjuangan tingkat tinggi.

Nggak sembarang orang bisa merespon situasi dengan baik-baik saja. Tapi aku yakin, siapa pun kita bisa mengusahakannya, asalkan mau. Yes, kuncinya: mau.

Nasihat lain yang datang padaku adalah:

“Sesulit apa pun kondisi kamu, jangan kamu ceritakan pada siapa pun.”

Berat? Tentu saja!

Sewajarnya manusia ingin berkeluh kesah. Mungkin ke orangtua, ke pasangan, ke anggota keluarga, ke sahabat, ke rekan kerja atau ke orang yang kita percaya.

Menceritakan situasi sulit ke orang lain bisa membahayakan diri sendiri. Bukannya membaik, namun malah bisa menjadi boomerang. Ada orang yang bilang kalo bercerita tentang hal itu malah secara alam bawah menarik hal serupa lainnya ke hidup kita.

Salah satu penelitian terkait topik tersebut datang dari jurnal berjudul:

Negative experiences on social media and mental health among adolescents: The “LifeOnSoMe”-Study (2023)

  • Tujuan: Meneliti bagaimana pengalaman negatif di media sosial, seperti perhatian yang tidak diinginkan dan tindakan negatif, mempengaruhi kesehatan mental remaja.
  • Metode: Survei dilakukan pada 3,253 remaja Norwegia dengan analisis regresi untuk mengukur gejala kecemasan dan depresi.
  • Hasil: Temuan menunjukkan bahwa kedua aspek pengalaman negatif tersebut berhubungan positif dengan gejala depresi dan kecemasan, serta berhubungan negatif dengan kesejahteraan mental secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pengalaman buruk dapat memperburuk kesehatan mental remaja.

Sumber di sini.

Duh! Yuk, stop curhat begituan.

Tapi, kerumitan isi kepala dan perasaan yang terasa sesak, kadang perlu dikeluarkan. Kalo memungkinkan, lebih baik berceritalah dengan tenaga profesional seperti Psikolog, agar memperoleh saran-saran yang relevan dan rahasia terjamin.

Yes, rahasia terjamin karena ada kode etik yang harus tenaga profesional pegang atas privasi klien mereka.

Di sisi lain, ada orang yang malah mengubah pengalaman titik terendah mereka sebagai konten di social media.

Apakah itu bagus?

Kalo untuk menarik atensi publik, konten bertema itu sangat bagus. Malah cenderung dapet simpati netizen. Kemungkinan besar bakal viral.

Tapi untuk diri sendiri, menurutku nggak berdampak bagus.

Ibaratnya, kita seperti sedang mengumumkan ke publik bahwa kita lagi mengalami titik terendah begini-begitu. Apalagi kalo menggunakan kalimat-kalimat yang memelas seakan minta dikasihani.

Nggak etis untuk dipublikasikan, kecuali kalo ada solusi di belakangnya. Artinya konten yang ada bukan bermaksud mengeluh, tapi justru ditujukan untuk membantu orang lain yang mungkin sedang mengalami kesulitan serupa. Harapannya orang lain bisa menemukan solusi praktis karena dapet pencerahan setelah mengonsumsi konten tersebut.

Kebayang kan, gimana pusingnya berada di situasi yang kacau. Pikiran mungkin nggak bisa digunakan dengan jernih. Alhasil solusi rasanya jauh banget.

Tapi begitu mengonsumsi konten yang kita bikin, boleh jadi orang lain akan terbantu menemukan solusi yang ternyata begitu dekat.

Untuk semua konten kreator, tetaplah berhati-hati dalam membuat konten. Pastikan udah diseleksi sedemikian rupa, agar nggak membawa dampak buruk bagi siapa pun yang mengonsumsinya.

Pengumuman penting:

Aku menantang diriku untuk mengirim email newsletter setiap akhir pekan.

Kalo kamu suka baca tentang topik dunia kreasi konten, solopreneur, storytelling dan AI, silakan join email newsletterku. GRATIS.

Join newsletter di sini

Setelah submit untuk join, segera konfirmasi di email, ya. Untuk memastikan kamu bisa mendapat email newsletterku di akhir pekan ini.

Sampai jumpa di email, InSyaa Allah.

--

--

Muhammad Nurul Hakim

I enjoy discussing various topics such as my daily activities, business, productivity, and tech matters. Visit my personal blog at: https://hakim.orderio.my.id